Sabtu, 22 Maret 2014

Asuransi Haji Menurut Pandangan MUI

Ibadah diwajibkan bagi umat Islam yang memiliki kemampuan (istithaah), baik fisik maupun materiil.

Ibadah haji juga merupakan perjalanan panjang yang mengandung risiko berupa kecelakaan atau kematian. Dan, #IngatLingkungan Blogger Peduli Lingkungan untuk meringankan beban risiko tersebut, muncullah asuransi (misalnya Unit Link Terbaik Di Indonesia Commonwealth Life Investra Link). Lantas bagaimana hukum asuransi haji dalam Islam?

Berikut petikan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tertuang dalam fatwa No: 39/DSN-MUI/X/2002.

MUI mendasarkan penetapan fatwa ini pada sejumlah pertimbangan. Pertama, asuransi haji sudah termasuk dalam komponen biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) yang dibayar oleh calon jamaah haji melalui Departemen Agama RI.

Kedua, setiap calon jamaah haji mengharapkan semua proses pelaksanaan ibadah haji termasuk asuransinya sesuai dengan syariah agar mendapatkan haji mabrur.

Ketiga, penyelenggaraan asuransi konvensional dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, maka asuransi yang digunakan harus sesuai dengan syariah. “Oleh karena itu, dipandang perlu menetapkan fatwa tentang asuransi haji,” kata DSN-MUI dalam pertimbangan fatwanya.

Selain itu, menurut MUI, yang dijadikan landasan fatwa adalah sejumlah firman Allah dalam Alquran dan hadis Rasulullah SAW. Diantara firman Allah SWT itu adalah tentang perintah mempersiapkan hari depan.

“Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr [59]: 18).

Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong-menolong dalam amal kebajikan, antara lain: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah [5]: 2)

Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain: “Hai orang-orang yang beriman tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Maidah [5]: 1)

Kemudian firman Allah dalam surah an-Nisa [4]: 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil…”

Firman Allah dalam surah al-Maidah [5]: 90, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Firman Allah dalam surah al-Baqarah [2]: 275, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Ada pula firman Allah surah al-Baqarah [2]: 279, “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Firman Allah dalam surah an-Nisa [4]: 29 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian..”

Di antara hadis Nabi SAW yang menjadi landasan adalah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, “Tiada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga.”

Kemudian hadis Nabi SAW tentang beberapa prinsip bermuamalah, antara lain: “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain.” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari)

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. al-Tirmidzi dari Amr bin Auf).

“Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar.” (HR. Muslim, al-Tirmizi, al-Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

“Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.” (HR. Bukhari dari Abu Rafi’).

“Tidak boleh membahayakan orang lain dan menolak bahaya dengan bahaya yang lain.” (HR. Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit, HR Ahmad dari Ibnu Abbas dan Malik dari Yahya).

Selain itu, DSN-MUI juga mendasari fatwanya tentang asuransi haji ini dengan menggunakan kaidah fikih yang menegaskan, “Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 60).

Ada pula kaidah, “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 63).

“Segala madharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 62).

“Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 121).

Ada pula kaidah, “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 63).

“Segala madharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 62).

“Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 121).

Ada pula kaidah, “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 63).

“Segala madharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 62).

“Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 121).

DSN-MUI juga mendasarkan fatwanya dengan pendapat para ulama tentang bolehnya asuransi syariah di antaranya: “Segala madharat (bahaya) harus dihilangkan.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 60).

“Tidak diragukan lagi bahwa asuransi taawuni (tolong-menolong) dibolehkan dalam syariat Islam, karena hal itu termasuk akad tabarru’ dan sebagai bentuk tolong-menolong dalam kebaikan karena setiap peserta membayar kepesertaaannya (preminya) secara sukarela untuk meringankan dampak risiko dan memulihkan kerugian yang dialami salah seorang peserta asuransi.” (Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami, cet. IV tahun 1997, juz V/3416).

“Asas pelarangan dalam asuransi (konvensional) adalah karena ia mengandung (unsur) gharar yang dilarang oleh syariat. Larangan syariah terhadap gharar yang dimaksud disini adalah pada akad-akad pertukaran (muawadhah).” (Husain Hamid Hasan, Hukmu al-Syariah al-Islamiyyah fi Uquud al-Ta’miin, Darul I’tisham, 1976).

DSN-MUI juga mendasarkan fatwa ini pada substansi fatwa DSN nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Kedua, Udang-Undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan pasal 7 Keppres Nomor 55 tahun 2002.

Kemudian, surat dari AJB Bumiputera 1912 No.277/Dir/BS/X/2002 tertanggal 16 Oktober 2002 perihal permohonan fatwa.

Karenanya, dalam Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Rabu, 23 Oktober 2002 M/16 Sya’ban 1423 H, diputuskan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, dalam Ketentuan Umum, DSN-MUI menetapkan:

  1. Asuransi Haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang menggunakan sistem konvensional.
  2. Asuransi Haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
  3. Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat taawuni (tolong menolong) antar sesama jamaah haji.
  4. Akad asuransi haji adalah akad tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru’ dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Kedua, dalam Ketentuan Khusus, DSN-MUI menetapkan:

  1. Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  2. Jamaah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabarru’ yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
  3. Premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.
  4. Asuransi syariah dapat menginvestasikan dana tabarru’ sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana tabarru’.
  5. Asuransi Syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.
  6. Asuransi Syariah berkewajiban membayar klaim kepada jamaah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
  7. Surplus Operasional adalah hak jamaah haji yang pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.

Ketiga, penyelesaian perselisihan. Menurut DSN-MUI, jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada 23 Oktober 2002 bertepatan dengan 16 Sya’ban 1423 H, dan ditanda tangani oleh Ketua Umum MUI KH MA Sahal Mahfudh dan Sekretaris MUI Prof Dr HM Din Syamsuddin.

Referensi: republika. co. id


Back2Top
Creative Commons License